Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

AKU TIDAK BODOH

Malam itu sepulang mengaji, seperti biasa aku menemani Rani dan Raka belajar. Mengerjakan PR, mengulang materi pelajaran, atau membaca buku yang aku sediakan khusus untuk mereka. Si kecil Raisha juga ikut sibuk belajar dengan gayanya sendiri, membolak-balik buku hard paper.

Bosan, Raka meletakkan bukunya. Ia berbaring di sampingku, berbantal lenganku sebagaimana kesukaannya sejak bayi.

Sumber gambar: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/  







"Mama, apakah Acha anak bodoh?" Katanya tiba-tiba. Ia memang menyebut dirinya sendiri, 'Acha'. Sebab ia masih cadel, belum bisa melafalkan R. Mbaknya pun ia sebut 'Ani'.

Aku tatap ia. Raut wajahnya sendu, matanya berkaca-kaca.

"Nggak, kok. Anak Mama nggak ada yang bodoh. Pintar semua." Kupegang pipinya, meyakinkan.

"Tapi Acha nggak punya piala kayak Mbak Ani. Mbak Ani selalu juala, lanking kelas." Tangisnya pecah. Ia sesenggukan. Kupeluk ia erat-erat.

"Semua juara bagi Mama dan Ayah. Kebanggaan semua. Mbak Ani, Mas Acha, juga adik Ais nanti."

"Acha saja yang bodoh, Ma."

"Siapa bilang? Apakah teman-temanmu ada yang berkata demikian?" Dengan takut-takut ia mengangguk.

Aku menelisik wajahnya yang muram.

"Kenapa temanmu bilang begitu?"

"Kawena Acha nyetow tugas dali Bu Gulu belakangan, Ma. Tapi bukan cuma Acha, kok. Mbak Ana, Ning Leva, juga belakangan."

"Hanya karena begitu dibilang bodoh? Ooh, itu temanmu yang nggak tahu artinya bodoh dan pintar. Hanya selesai menulis duluan, tidak berarti mereka jadi jagoan." 

Aku berusaha menyemangatinya. Meraih kembali mentalnya yang down.

"Waktu dikoleksi, punya Acha benal, Ma. Punya teman-teman yang laki-laki ada salahnya. Kata Bu Gulu, meleka kulang teliti."

"Nah, apalagi. Tidak apa-apa selesai belakangan tapi hasilnya lebih baik."

"Jadi bukan bodoh ya, Ma? Soalnya Acha jadi olok-olokan, Ma."

"Bukan. Kan Bu Guru yang membenarkan jawaban Acha. Nilainya juga lebih bagus, kan?" Ia mengangguk.

"Mau tahu caranya nggak dibilang anak bodoh?"

"Mau..mau... Mau, Ma."

"Acha bukan anak bodoh. Hanya saja Acha lebih banyak mainnya. Jadi, belajar harus lebih banyak. Di sekolah juga berlatih lebih konsentrasi, jangan keburu mau istirahat, jangan mikirin mau sekolah ke Mak Er terus," kataku menggoda. Ya, dulu ia memang keburu mau sekolah. Sekolah jajan, mau belajar ke Mak Er, penjual jajanan di kantin.

Akhirnya ia tersenyum, tak lama kemudian tertidur. Semoga aku benar-benar bisa menghalau kegalauannya karena olok-olok bodoh itu.
***

Ngomong-ngomong soal kata bodoh, ibu mana sih yang rela anaknya dikata-katain? Meskipun benar adanya, tak ada seorangpun yang mau.

Sudah sejak TK Raka dirundung begitu. Ya, dia memang agak berbeda gaya belajarnya dengan Rani. Tapi bukankah kata orang Madura, bahkan anak ayam yang menetas dari induk yang sama, di kandang yang sama, tidaklah akan sama persis?

Rani si sulung, baru beberapa bulan masuk TK sudah dinobatkan sebagai Bintang Pelajar. Semester pertama kelas A sudah bisa membaca, ngajinya juga iqro' 4. Meski sempat 'mogok' ga mau belajar beberapa waktu, si Mbak prestasinya moncer.

Lain Rani, lain Raka. Dia belajarnya moody. Kalau moodnya bagus, dia akan datang pada gurunya tanpa disuruh. Membaca pake acara tawar-menawar, bahkan sangat sering gurunya harus mengikuti kemana tubuh kecilnya bergerak untuk membujuknya belajar.

Raka-ku sangat suka musik. Sejak balita ia suka gedebak-gedebuk ember, galon, bambu, dan sembarang yang menghasilkan bunyi. Dia minta drum, aku belikan drum mainan. Umminya (bu de) membelikannya ketipung, dan ia lihai sekali menabuh. Aku belikan ia hadrah, tangannya juga lincah menghasilkan bunyi yang indah. Bising pastinya rumahku setiap hari dengan tingkah polahnya. Ia minta drum beneran, minta piano, minta gitar... alamak, duit dari mana pula?

Karena hobinya itu, aku ingat ibuku pernah mendengar, tetangga berkata pada anaknya yang ternyata agak suka tetabuhan seperti Raka.

"Mau jadi apa main tabuh-tabuhan? Mau kamu kayak Raka?"

Tanpa disebutkan, ibuku paham. Kayak Raka itu maksudnya bukan jago main musik. Bukan memuji Raka pintar dan benar-benar menjadikan ia contoh. Melainkan si ibu itu mencela. Raka bodoh. Raka yang tak dapat ranking (dan dia masih baru masuk TK lho), Raka yang tak mau tampil lomba cerdas cermat, Raka yang enggan ikut lomba puisi dan hafalan lainnya, Raka yang lebih asyik dengan dirinya sendiri, Raka yang ..

Sebagai neneknya, jelas Ibuku sakit hati. Beliau berkata, "Ya, kamu setiap hari tidak ada di rumah. Bukan kamu yang menemani di sekolah. Jadi kamu nggak dengar apa kata orang tentang anakmu. Yang lain pada maju, anakmu diam saja. Luangkan waktumu untuk Rani dan Raka. Jangan hanya bekerja."

Ibu salah. Kata siapa aku tak tahu Raka sering menerima perundungan? Saat aku tak ada jam mengajar, bukankah aku yang mengantar Raka sekolah? Dan aku bisa tahu bagaimana teman-teman yang sama kecilnya memperlakukannya. Aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri, kepala Raka ditoyor-toyor oleh anak yang hampir seluruh gigi depannya menguning, sementara yang lain hanya menonton.
Aku tahu, aku dengar. Aku marah? Harusnya begitu. Tapi lisanku tidak menguarkan amarah pada anak kecil yang sama tak pahamnya itu. Hatiku yang lebih dulu mengadu kepada Tuhan.

"Ya Allah jadikanlah kelak seluruh anak keturunanku sebagai bagian dari hambamu yang ahlul 'ilmi dan ahlul 'ibadah, yang menghiasi dirinya dengan tutur kata santun dan budi bekerti mulia."

Sesibuk-sibuknya aku mengajar, itu hanya setengah hari. Kegiatanku juga tak sebanyak sekarang. Jadi aku punya 'quality time' bersama Rani dan Raka, saat mereka mau tidur siang, saat mereka pulang mengaji, dan jika aku di rumah, mereka berdua bersamaku. Aku tanyakan bagaimana sekolahnya, gurunya, temannya, ada PR atau nggak. Aku tidak meninggalkan mereka sepenuhnya.

Sebagai guru dan juga orang tua, aku tipe orang yang percaya bahwa kesuksesan seorang anak tidak selalu bisa diukur dari sebanyak apa piala dan mendapat peringkat berapa.

Seorang penulis bisa jadi bukan mereka yang bagus nilai bahasa Indonesianya. Seorang dokter tidak selalu berasal dari mereka yang memang tinggi nilai IPA-nya.
Di kelasku, ada anak yang pandai qiraat walau ia tidak masuk ranking sepuluh besar.

Ada anak yang sangat pintar pidato meski nilai pelajaran pas-pasan, bahkan banyak sekali point pelanggaran.

Ada anak yang bakat seninya luar biasa, juara puisi regional, namun ia juga masih bertanya-tanya kenapa ia tak pernah beranjak dari ranking dua puluh ke atas.

Ada yang pintar kaligrafi meski catatan pelajarannya tidak lengkap sama sekali.

Ada yang diam-diam juara olimpiade meski konon di kelas ia suka mengantuk.

Ada banyak sekali contoh lain, bahwa kepandaian bukan hanya soal kognitif.

Raka anak istimewaku Sama istimewanya dengan saudaranya yang lain, Rani dan Raisha. Jika soal belajar ini adalah sebuah masalah, itu ujianku sebagai ibunya. Bukankah setiap orang akan diuji? Dan ujianku katakanlah hanya Raka yang tak sepintar kawan-kawannya, dalam pandangan orang yang hanya menilai kepintaran sebatas angka.

Apalah ujianku, dibandingkan seorang ibu yang harus mengantar anaknya yang duduk di kursi roda untuk sekolah. Aku bukan apa-apa dibanding seorang ibu yang anaknya mengalami keterbelakangan mental atau penyakit yang lebih serius lainnya. Bukankah kuncinya aku harus lebih banyak bersabar dan bersyukur?

Segala hal aku upayakan semampuku. Aku belikan Raka buku calistung, aku sediakan beragam permainan yang sekiranya bisa memancing ia belajar sambil bermain. Karena sudah zaman gadget, kubelikan ia gadget tanpa isian paket data, hanya berisi film dan game edukasi. Susah payah aku belikan smarthafiz dan buku-buku premium supaya ia lebih tertarik belajar tanpa merasa belajar.

**"

Suatu waktu, aku sedang menjaga Raka di sekolah. Hujan turun mendadak, jam istirahat baru saja berakhir. Semua bergegas ke kelas.

Eh, tiba-tiba ia keluar. Aku segera menegurnya, dan menyuruh masuk kembali. Namun ia malah turun. Membiarkan tirai hujan membasahi seragamnya.

"Raka, ayo masuk!" Bisa dibayangkan, aku melotot kala menyuruhnya.

Dan ia menjawab, "Acha hanya mau ambil sepatu Bu Gulu, Ma." Aku pun sontak membisu. Raka meletakkan sepatu gurunya di atas teras, aman dari hujan. Ya Allah, aku malu.
.
.
.
Ketika tulisan ini dibuat, Raka sudah kelas 5 SD. Sudah mau belajar tanpa disuruh jika sedang moodnya bagus, juga beragam alasan jika malas mode on. Suka main tapi juga bisa bergegas berhenti jika ada tugas sekolah.

Di tahun terakhir ia di TK, ia pernah dipanggil sebagai ranking kelas nomer 3.

Tahun pelajaran kemarin, ia mengagetkan kami di rumah saat menjadi juara Olimpiade Sains Nasional materi IPA tingkat kecamatan. Ia juga dapat penghargaan sebagai pemenang harapan ISCO.

Di acara sekolah, saat ia dipanggil untuk menerima piala, ada yang berkata, 

"Raka? Raka yang dulu? Sudah berubah, ya?"

Waktu kenaikan kelas, ia dapat hadiah ranking 1, dan ahamdulillah semesteran kemarin juga masih bisa mempertahankan .

Sebagai orang tuanya, aku tak berhak menuntut Raka sama seperti kami, ayah-ibunya, atau harus melebihi. Tugas kami hanyalah mengarahkan dan membimbing agar terus tekun belajar sepanjang hayat. Kami berusaha membangun kepercayaan dirinya, menguatkan mentalnya, memandangnya lebih positif, agar kokoh menghadapi segala hal-hal negatif dari dalam maupun luar dirinya.

Semoga kita semua bisa mengantarkan anak-anak sebagai generasi muda yang cemerlang kelilmuannya, juga bersinar budi-pekertinya. Aamiin.

Posting Komentar untuk " AKU TIDAK BODOH"