BELAJAR MENJADI IBU
Setelah lebih setahunan pernikahan, belum juga hamil, menghadapi
komentar para tetangga, sanak-kerabat, teman, dari pertanyaan hingga yang
nyinyiran, akhirnya di bulan ke-13 aku mendapati garis dua di test pack.
Alhamdulillah. Sebelumnya sudah ada yang menyarankan aku ikut program
kehamilan, juga ada yang bilang jangan-jangan aku jubeng (mandul, Madura).
Padahal usia pernikahanku masih 12 bulan.
"Ga usah dengarkan apa kata orang. Nikmati saja dulu masa-masa
berdua dengan suami. Kalau sudah punya anak, nanti pikirannya terbagi,"
kata Ibu.
Desember, ketika sepupuku hamil, suaminya memeluk ia erat-erat,
dengan mata berkaca-kaca karena haru dan bahagia. "Terima kasih,
Sayang," katanya berulang-ulang.
Berikutnya di bulan Januari, saat ada familiku yang lain hamil,
dengan polos aku bertanya,
"Mbak hamil?" Ujarku ikut gembira. Tapi jawabannya
membuat hatiku mencelos. "Iya. Kamu gimana?"
Aku mendadak speechless .
Maret, ketika tahu aku hamil pula, bahagia sekali rasanya. Aku
sudah membayangkan jauh-jauh hari bagaimana senangnya kalau telat datang bulan,
terus aku tes di hari ketiga, positif, mungkin suamiku akan seperti suami
sepupuku yang ekspresif menyambut berita gembira ini,
Namun teryata aku agak kecewa. Kala aku menunjukkan test pack itu
pada suami, jawabannya nggak seromantis yang aku bayangkan. Dia berucap syukur
dan tersenyum gembira. Segitu saja.
Tak apalah, mungkin dia memang garing mode on.
Aku juga tambah kecewa saat kehamilanku diberitahukan pada keluarga
yang lain, ternyata sama ga ekspresifnya. Malah berkata, "Jangan
bilang-bilang dulu kalau belum sebulan."
Aku menangis dalam hati. Nyessek. Merasa kehamilanku tak
diharapkan. Meski aku agak sedikit terhibur, konon ada mitos hamil muda jangan
diceritakan dulu. Takut anaknya nggak ganteng atau nggak cantik. Tapi, kenapa
kehamilan beberapa familiku yang lainnya disambut gembira dan langsung
diberitahukan kepada semesta?
Ah, sudahlah. Yang penting terkabul; hamil. Ga boleh baper.
Hari demi hari kehamilan aku lalui. Alhamdulillah tidak sehoror
pengalaman orang-orang. Yang katanya lemes lah, mual terus lah, pusing, dan
beragam keluhan lain. Bahkan katanya, ada yang ga bisa kena sinar matahari,
jadi ga keluar rumah. Ya, aku sih juga mual. Sebulanan saja, itu pun segala
macam makanan tetap bisa masuk.
Sepanjang masa berbadan dua itu aku tak mengalami masalah berarti.
Sedikit pusing dan lelah ya pasti ada. Hanya tidak menghambat aktifitasku
sebagai guru. Aku masih wira-wiri ke sekolah, hingga memasuki bulan kesembilan,
karena Ibu mulai melarangku kemana-mana.
Sembari menghitung hari untuk menjadi seorang ibu, untuk menambah
pengetahuan aku berlangganan tabloid parenting, serta membaca buku-buku seputar
kehamilan dan pengasuhan anak. Sebab di sekitarku masih banyak sekali mitos,
sehingga aku merasa perlu upgrade wawasan sebagai calon ibu yang belum punya
pengalaman.
Aku kadang merasa heran, kalau pas lagi ngobrol sama tetangga,
sering dapat doa, "Semoga lahirannya mudah dan lancar, nggak usah dibawa
ke timur." (Maksudnya ke rumah sakit atau nakes). Aku baru tahu setelah
hadir ke posyandu, kepercayaan masyarakat kalau berhubungan dengan nakes atau
rumah sakit berarti ada masalah atau sakit serius. Aku mengaminkan doa mereka,
sembari menjelaskan bahwa aku sudah diwanti-wanti mertua termasuk ibuku sendiri
untuk lahiran sama bidan, meski tak mengesampingkan paraji atau dukun bayi.
11 Desember 2008, aku mengalami kontraksi menjelang shubuh. Dari
sakit sedikit, perlahan, hingga makin sering dan begitu menyiksa. Hingga 24 jam
berlalu, bidan berkata masih pembukaan 2. Padahal sakitnya sudah luar biasa.
Kesentuh kain sarung saja kulit perut sudah begitu nyeri. Benar-benar perjuangan.
Anehnya, aku tak bisa menangis. Meneteskan air matapun tidak. Lisanku berseru,
melafalkan segala doa dan merintih kesakitan.
Beginikah rasanya wahnan 'ala wahnin, payah di atas payah? Konon
tingkat rasa sakit seorang ibu yang sedang kontraksi, melahirkan secara alami
diperkirakan sebanding dengan sakitnya dua puluh tulang sehat yang dipatahkan
secara bersamaan. Masya Allah!
Sakit berlanjut hingga esok harinya. 12 Desember siang aku mulai
pendarahan. Serasa ingin bolak-balik kamar mandi, hingga aku tak sanggup lagi
bangkit ketika hari beranjak senja.
Lampu padam. Sanak keluarga berdatangan menemani. Seperti hilang
semua teori yang aku pelajari di buku. Lenyap segala tekhnik yang kuhafalkan.
Hingga di sisa-sisa tenagaku, aku memaksakan diri melangkah dengan dipapah, dan
sekian detik kemudian aku tak sanggup lagi bergerak.
Tess!
Pecah ketuban. Gelombang cinta semakin menyerang. Hingga kurasakan
ada sesuatu yang terasa berat dan sangat ingin aku keluarkan.
"Ya Allah!" Kusebut nama Tuhan berulang-ulang.
Kemudian seperti ada yang lepas, dan aku kehilangan semua rasa
sakit itu, seketika.
Jam 22.00.
Anakku lahir tepat di malam purnama, 15 Dzulhijjah. Lampu juga
kembali menyala.
Sesosok bayi perempuan, berkulit putih bersih, dengan sepasang
bibir mungil yang indah, matanya bulat jernih dengan rambut lebat hitam legam,
terbaring di sampingku. Allahu akbar! Aku sah menjadi seorang ibu di genap 2
tahun usia pernikahanku.
***
Well, seorang perempuan sesungguhnya tidaklah pantas dihakimi oleh
siapapun, termasuk sesama perempuan, dengan pertanyaan kenapa ia belum menikah,
kenapa belum punya anak, kenapa anaknya jarak lahirnya cepat, kenapa anaknya
perempuan atau laki-laki semua, kenapa anaknya hanya satu, kenapa tidak
disusui, kenapa dan kenapa lainnya.
Menjadi ibu itu butuh kesiapan mental. Butuh motivasi kuat dari
orang-orang di sekitarnya. Setidaknya, itulah yang aku rasakan selama masa
kehamilan hingga melahirkan. Ketika seorang bayi telah lahir, tugas ibu
tidaklah berakhir. Sebab tugas ibu hanya akan selesai mana kala umurnya usai.
Seorang ibu butuh didampingi dalam masa pengasuhan. Jangan biarkan
ia begadang sendiri sepanjang malam, sementara tugas domestik juga menanti di
siang hari.
Sosok Ibu tak hanya dituntut siap secara lahir, namun batin juga
mesti dikuatkan. Sebab ada kalanya ia akan menjadi orang yang selalu disalahkan
jika terjadi apa-apa pada anaknya.
Anak jatuh, ibunya mana?
Anak sakit, ibunya bagaimana?
Pun soal jenis kelamin saja, saya juga sempat 'dirundung' lho.
"Kok anak pertamamu perempuan, sih? Ga bisa bikin kamu. Anak
pertama itu yang utama laki-laki."
Astaghfirullah, masa iya mau menitah Tuhan? Kan kita hanya menerima
apapun pemberianNya. Mungkin kalau sekarang saya dibilang begitu, saya jawab
saja, "Kamu neunyeu?"
Seorang perempuan, pasti akan bertemu kodratnya sebagai seorang ibu.
Entah dari anak yang ia lahirkan di dalam rahim, atau anak yang ia besarkan
dengan hati.
Jangan pernah berkecil hati menjadi seorang perempuan. Persiapkan
saja diri kita. Karena menjadi perempuan akan mengantar kita menuju tugas yang
menuntut multi talenta. Segala hal harus bisa kita kerjakan. Dan yang tak kalah
penting, jangan lupa, seorang ibu juga sebagai 'Madrasatul Ula', sekolah
pertama bagi anak-anaknya.
Posting Komentar untuk " BELAJAR MENJADI IBU"