Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MENGUKIR SENYUM IBU

Jika banyak orang menuliskan kisah inspiratif ibu rumah tangga karena kesuksesannya mengangkat ekonomi keluarga, menjadi pengusaha dan wanita karier misalnya, maka kisah ibuku ini mungkin hanyalah kisah sederhana bagi orang lain. Sedangkan bagiku cerita Ibu adalah sumber inspirasi tentang bagaimana aku belajar banyak hal, terlebih tentang ketabahan. Ibu mengajariku menyusun ketegaran, bagaimana bertahan meski rasa sakit menyelusup jauh ke dasar hati.

Ibuku adalah perempuan desa biasa yang dinikahkan dini ketika ia masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Ia dijemput paksa untuk menikah dengan seorang anak laki-laki yang sebaya dan sama polosnya, dihantar ke rumah sebagai mempelainya. 

Sumber gambar : https://mediablitar.pikiran-rakyat.com/gaya-hidup/pr-325991427/kata-ucapan-istimewa-hari-ibu-2022-kirim-ungkapan-penuh-makna-untuk-sang-tercinta?page=2 



Pernikahan yang seumur jagung, pernikahan anak-anak, Ibu tetap perawan ketika pernikahannya berakhir. Malangnya, dunia sudah memberi julukan janda padanya. Janda muda. 

Ibu beruntung. Meski ia dikatakan sudah menikah, Kakek memberikan Ibu kesempatan sekolah lagi. Sekolah dekat rumah hanya sampai kelas 4, tapi Kakek mengizinkan Ibu melanjutkan belajarnya ke desa tetangga. Jadi Ibu bisa menyelesaikan pendidiknya, pun bisa tetap belajar di luar bangku sekolah kepada kakaknya, Pakdeku. 

Pakde yang seorang guru dan kemudian menjadi kepala sekolah selalu mengajak ibu di berbagai kegiatan PKK desa, penataran P4, juga kegiatan lain semisal menjadi PPS ketika Pemilu, dan lainnya. Ibu kecil juga pandai qiraat. Konon Ibu sering diundang di acara-acara tingkat desa, dan kerap mendapat 'bherkat' maupun uang yang menjadi uang jajannya. 

Zaman itu belum ada sekolah tinggi di rumah. Jadi ketika lulus SD Ibu tidak melanjutkan ke sekolah menengah, melainkan dinikahkan kembali, dengan Bapak. Bapak yang usianya jauh di atas Ibu adalah alumni pesantren. Bapak ngemong dan sangat telaten pada Ibu.

Ibu mengandung anak pertama saat baru baligh, belum 15 tahun, dan meninggal saat dilahirkan. Setelah itu kembali berkali-kali mengandung, namun dari lima kehamilan, tak ada satupun anak yang dilahirkan Ibu bertahan hidup. Anak kelima sampai berusia berbulan-bulan, namun saat lucu-lucunya ia juga meninggal.

Jangan dibayangkan betapa sedihnya Ibu. Sudah pasti hatinya hancur ketika tak ada satupun anak yang bisa ia dekap dalam buaian.

Saat kehamilan keenam, yakni hamil aku, Ibu benar-benar mengalami wahnan 'ala wahnin, lemah yang bertambah-tambah. Ibu juga sering keluar flek hingga pendarahan. Masa kedokteran belum maju seperti sekarang, saat kehamilan sama sekali dianggap bukan penyakit dan tak perlu bersentuhan dengan medis. Cukup dukun, doa-doa, urusan beres. Di masa itulah Ibu memperjuangkan janinnya, diriku. Bapak juga bertirakat dengan berpuasa sepanjang kehamilan Ibu. Alhamdulillah aku lahir sehat sesuai harapan, terus tumbuh dan tumbuh, tanpa penyakit aneh-aneh seperti yang dialami kelima kakakku. 

Konon ari-ariku dibuang ke laut Selat Madura. Katanya itu ritual untuk anak 'TOLAK, yakni anak yang saudaranya selalu mati. Konon kata TOLAK itu memang berarti menolak. Menolak saudara. (Masa iya? pikirku.)

Kala usiaku memasuki lima tahun, Bapak meninggal karena penyakit paru-paru. Ibu menjadi janda kedua kali. Ibu yang memang tidak punya pekerjaan sampingan, harus berjuang mengupayakan segala sesuatunya untukku. Beruntung Ibu tinggal bersama orang tuanya, kakek dan nenekku. Tapi bagaimanapun juga, sebagai perempuan yang umurnya juga dituakan keadaan, Ibu akan sungkan selalu meminta. Maka Ibu mencari beragam kegiatan dan pekerjaan yang bisa Ia lakukan tanpa mengabaikan aku.

Sejak dahulu, mungkin semesta memang tak pernah ramah pada seorang janda. Hingga kini aku juga kerap menjumpainya. Zaman belum ada media sosial, aku kecil cukup paham sulitnya Ibu menjalani status baru sebagai janda, meski aku tak bisa berbuat apa-apa.

Ibuku memang berwajah lumayan cantik. Tubuhnya langsing semampai, kulit kuning langsat, hidung ada mancung-mancungnya. Jika saja Ibu menjadi janda di era digital seperti sekarang, mungkin akan menjadi salah satu wajah yang liar dishare dalam chat para lelaki. Baik dengan caption malam jum'atan, atau juga dipromokan seperti barang. Menyebalkan! 

Ibu yang pandai menulis dan membaca membantu Kakek mengurusi usaha keluarga. Ibu juga kerap diminta mewakili desa ke berbagai lomba di kecamatan, bahkan Ibu juga pernah menjadi jubir saat usaha produksi serat tali nanas milik kakek diliput TVRI. 

Ibu tak memerdulikan rerasanan orang tentang kesediriannya. Ibu hanya memikirkan aku. Bagaimana mewujudkan wasiat Bapak agar aku melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya.

Beberapa bulan setelah selamatan 1000 hari-nya Bapak, Ibu menikah lagi. Aku tidak tahu. Aku tahunya di sekolah, kakak kelasku yang laki-laki merundungku dengan mengejek dan menjadikan Ibu sebagai lelucon. Ingin kurobek mulut mereka. Sejujurnya aku tidak takut meski mereka laki-laki semua, sedangkan aku hanya adik kelas. Tapi aku menulikan telinga meski hati gemuruh. 

Meski awalnya terasa berat, pada akhirnya aku mengerti dan menerima keputusan Ibu. Terlebih bapak baruku sudah aku kenal baik. Ia karyawan pakdeku, kakak Ibu yang lain yang menjadi pedagang.

Tiga tahun kemudian, aku punya adik. Ketika ia dilahirkan, aku lihat Ibu sangat lemah. Aku berbisik sambil menggendong adik bayiku, "Kalau terjadi apa-apa dengan Ibu, kau harus bertanggung jawab."

Ibu mendengarnya, dan Ia berkata, "Jangan bicara begitu lagi! Kau dan adikmu sama-sama Ibu sayangi. Kalian berdua akan menjadi kekuatan Ibu."

Sungguh, aku sempat merasa bersalah. Aku rasa Ibu tahu aku takut kehilangannya. Ucapan Ibu menjadi semacam sugesti. Aku pun mencintai adikku, tulus, sejak saat itu.

11 Agustus 2015, adikku satu-satunya itu, meninggal akibat kecelakaan lalu lintas saat hendak meliput kecelakaan di fly over Trosobo, Sidoarjo. Kejadian yang sangat mengejutkan, karena pagi harinya adik masih berbincang-bincang dengan Bapak dan Ibu, dan dua hari sebelumnya telponan denganku dan anak-anak. 

Ibu terguncang. Kami semua demikian pula. Musibah ini adalah ujian besar bagi kami sekeluarga. Ibu terdiam tanpa suara. Bahkan hingga jenazah adik datang, Ibu seperti patung dengan pandangan kosong. Hanya pada saat seorang kyai d pondok rawuh, Ibu sempat curhat menceracau agak di luar kesadarannya.

Tetap tanpa kata, Ibu meraih tubuh adik dengan dengan kedua tangannya. Menelisik mencari luka atau apa yang cacat. Tak ada. Adik pulang dengan tubuh yang utuh bak orang tidur pulas, dengan senyum tersungging. Masya Allah.

Konon, air mata dapat membasuh luka. Jadi mungkin karena tak bisa menangis, maka luka Ibu jauh dalam hatinya. Hari demi hari, ada yang berbeda dengan Ibu. Ia tak seperti yang dulu. Emosinya tidak stabil, gampang sekali terkejut, bahkan mudah pingsan di manapun ia mendengar hal yang bisa mengguncang jiwanya.

Hingga kini, hampir delapan tahun berlalu. Luka Ibu tak sembuh sempurna. Namun perlahan, Ibu mulai bisa menata hati. Banyak hal yang kami upayakan agar Ibu sembuh dari lara batinnya. Membawanya sowan ke banyak ulama, mengajaknya ziarah ke makam para wali, dan mencoba saling menguatkan hati lewat perbincangan kami, maupun belajar dari kejadian serupa yang dialami orang-orang di sekitar kami. Bahwa sakit ditinggalkan bukan hanya kami yang merasakan.

Lambat laun, Ibu mulai pulih. Tapi memang tidaklah mudah merangkai lagi hati yang pecah. Walau sulit, bukan berarti tak mungkin. Kami terus menata hati menerima takdir bersama. Merangkai doa agar kelak kami disuakan dan berkumpul di jannahNya. 

Sebagai satu-satunya anak Ibu yang tersisa, tugas dan kewajibanku adalah menemani Ibu. Segala hal akan aku upayakan untuknya. Menepis segala jerihku sendiri, untuk sekedar membuat Ibu kembali tersenyum sempurna.

Selamat Hari Ibu, Ibuku. Engkau memang tak pernah tahu riuhnya acara memperingati harimu di luar sana. Entah aku atau kau yang akan lebih dulu pergi. Namun di jika masih ada sisa waktu, sedikit atau banyak untuk kita, yang kuinginkan adalah berbakti dan berupaya mengukir senyum manismu kembali. 

Tetap sebut namaku dalam ridla dan doamu, Bu. Agar mudah langkahmu menemukan kunci surga, di di telapak kakimu.


Lenteng, 20 Desember 2022

3 komentar untuk "MENGUKIR SENYUM IBU"